Pengantar
Alhamdulillah
kami panjatkan puji syukur kehadirat Ilahi Robbi, dan semoga solawat salam
selalu tercurahkan kepangkuan Baginda Nabi Muhammad SAW. Kami dapat
melaksanakan tugas membuat resume pada buku yang berjudul “hukum perjanjian
syariah” karangan prof. Dr. Syamsul anwar, M.A,
walaupun masih jauh dari harapan yang diinginkan dosen pengampu dan
saudara-saudara semester III.
Harapan
kami semoga sedikit ini dapar mengantarkan kita menuju yang lebih baik dari
hari-hari kemarin, dapat menambah keilmuan yang lebih luas, membuahkan ilmu
yang bermanfaat fiddini waddunya hattal akhiroh, sehingga kita
digolongkan menjadi orang-orang yang lebih baik dan beruntung. Amin.
Pendahuluan
Interaksi
antar sesama manusia yang satu dengan yang lain merupakan suatu kegiatan
manusia yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat dihindarinya yakni sebagai
makhluk sosial. Karenanya adalah untuk menuju kehidupan yang sesuai dengan yang
diinginkan, memenuhi kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan dan keinginan manusia yang
berbeda-beda itu sering menimbulkan konflik, pertengkaran bahkan saling
membunuh. Dari sinilah muncul yang namannya hukum. Diharapkan akan mengatarkan
suatu kehidupan yang tenang, damai dan sejahtera. Walaupun berbeda dengan yang
lain akan tetapi kalau ada hukum maka akan diikatkan dirinya dengan hukum
tersebut, sehingga perbedaan tersebut akan menjadi keindahan, saling berjalan
tanpa ada gangguan dan hambatan, itulah tujuan adanya hukum.
Kemudian
ada lagi perjanjian, ini merupakan sesuatau yang menghubungkan, menggabungkan
atau ikatan supaya dalam melakukan suatu tujuan tersebut berjalan dengan
lancar, sesuai dengan yang diinginkan bersama. Apalagi kalau dihubungkan dengan
syariah, maka akan lebih khusus lagi didasarkan pada haluan aturan agama islam,
yaitu agama yang dibawa Nabi Muhammad dengan kitab suci Al Qur’an sebagai
pedoman utamanya.
Untuk
lebih jelasnya tentang hukum perjanjian syariah, akan kami jelaskan. Agar lebih
mendalam lagi dalam makalah ini insyaAlloh ada beberapa masalah.
Diantaranya, apakah hukum prjanjian syariah itu dan beberapa hal yang ada
kaitannya dengan hukum perjanjian syariah.
Hukum
Perjanjian Syariah
BAB 1.
A.Tinjauan
Tentang Hukum Perjanjian Syari’ah
a.
Pengertian, klasifikasi dan asas-asas.
Istilah “perjajian” dalam hukum indonesia adalah disebut “akad”
dalam hukum islam. Kata al-aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau
menghubungkan (ar-rabt). Menurut prof. Dr. Syamsul anwar, M.A, mendefinisikan
akad adalah pertemuan ijab dan qobul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau
lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada obyeknya.
Akad dibedakan dalam berbagai penggolongan dilihat dari
beberapa sudut pandang.
a.
Akad bernama dan akad tidak bernama.
Akad bernama
adalah akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat hukum dan ditentukan
pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku
terhadap akad lain. Diantara akad bernama adalah jual beli (al-bai’), sewa-menyewa
(al-ijaroh), penempoan (istisna’), penanggungan (kafalah),
perdamaian (ash-shulh), pemindahan hutang (al-hiwalah), pemberian
kuasa (al-wakalah), persekutuan (asy-syirkah), bagi hasil (al-mudharabah),
gadai (ar-rahn), penitipan (al-ida’), perutangan (al-qardh)
dan lain-lain.
Adapun sebaliknya akad tidak bernama adalah akad yang tidak diatur
secara khusus, tidak ditentukan , tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya.
Seperti jual beli opsi.
b.
Akad pokok dan akad asesoris.
Akad pokok adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaanya tidak
bergantung pada suatu yang lain. Seperti jual beli, sewa menyewa. Akad asesoris
adalah akad yang keberadaanya tidak berdiri sendiri melainkan tergantung pada
suatu hal lain, seperti akad penanggungan dan akad gadai.
c.
Akad bertempo dan akad tidak bertempo.
Akad bertempo adalah akad yang didalamnya mengandung unsur waktu, dalam arti waktu termasuk dalam isi
perjanjian. Seperti akad pinjam pakai, akad sewa-nenyewa dan akad pemberian
kuasa. Sedangkan akad tidak bertempo merupakan akad yang tidak mengandung waktu
didalamnya. Seperti jual beli kontan.
d.
Akad konseptual, akad formalistik dan akad riil.
Akad koseptual dimaksudkan jenis akad yang untuk terciptanya cukup
berdasarkan pada kesepakatan para pihak tanpa adanya formalitas-formalitas
tertentu. Dan sebalikmya akad fomalitas adalah akad yang tunduk pada formalitas
yang ditentukan oleh pembuat hukum. Akad riil adalah akad yang untuk terjadinya
diharuskan adanya penyerahan tunai obyek akad.
e.
Akad masyru’ dan akad terlarang.
Akad masyru’ merupakan akad yang dibenarkan oleh syara’
untuk dilakukan dan tidak ada larangan untuk menutupnya. Dan sebaliknya akad
yang terlarang yaitu akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat,
seperti jual beli janin, nikah mut’ah.
f. Akad
yang sah dan akad tidak sah.
Untuk menentukan bahwa suatu akad dikatakan sah atau tidak itu
dilihat dari terpenuhinya syarat dan rukunnnya. Berarti sah jika telah memenuhi
syarat dan rukunnya. Akad sah meliputi akad lazim, akad nafis dan akad mauquf.
Dan akad yang tidak sah meliputi akad fasid dan batil.
g.
Akad mengikat dan akad tidak mengikat
Akad mengikat adalah akad seluruh syarat dan rukunnya t erpenuhi,
maka akad itu mengikat secara penuh dan masing-masing pihak tidak dapat
membatalkannnya tanpa adanya persetujuan pihak lain. Seperti jual beli, sewa
menyewa, gadai. Dan akad tidak mengikat yaitu akad yang pada masing-masing
pihak dapat memebatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Seperti hibah,
wadiah, ariyah, syirkah dan wakalah.
h.
Akad nafis dan akad mauquf.
Akad nafis adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang
menyebabkan tidak dapatnya akad tersebut dilaksanakanya. Yakni langsung
mengakibatkan hukum saat terjadinya. Dan sebaliknya akad maukuf akad yang tidak
dapat dilaksanakan akibat hukumnya sekalipun sah. Seperti akad anak mumayiz
tergantung kepada ratifikasi walinya, akad orang dipaksa tergantung pada
ratifikasi yang bersangkutan.
B. Asas
perjajian dalam hukum islam :
1.
Asas ibahah (mabda’ al-ibahah).
Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil
yang melarangnya.
2.
Asas kebebasan berakad (mabda’ hurriyyah at-taaqut)
Pada asasnya akad adalah kespakatan para pihak dan akibat hukunnya
adalah apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji. Hal ini
kebebasan akad karena didasarkan kata sepakat.
3.
Asas konsensualisme (mabda’ ar-radha’iyyah).
Bersifat konsensual, menyatakan bahwa perjanjian itu pada asasnya
dalah kesepakatan para pihak, sehingga bila telah tercapai maka terciptalah
perjanjian.
4.
Asas janji itu mengikat.
Janji itu mengikat dan wajib di penuhi. Dengan dasar al-wa’du
dainun (janji adalah hutang).
5.
Asas keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi al mu’awadhah)
Perlunya keseimbangan baik antara apa yang diberikan maupun yang
diterima dan keseimbangan memikul resiko. Tercermin pada batalnya akad tang
tidak seimbang dan larangan terhadap transaksi riba.
6.
Asas kemaslahatan (tidak memberatkan).
Kemaslahatan meripakan tujuan para pihak yang berakad, dan tidak
boleh menimbulkan kerugian atau memberatkan.
7.
Asas amanah.
Hal ini para pihak harus beriktikat baik dalam bertransaksi dengan
pihak lain, tidak dibenarkan salah satu pihak mengekploitasi ketidaktahuan
mitranya.
8.
Asas keadilan.
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujutkan oleh semua hukum.
Berlakulah adil karena adil lebih dekat dengan taqwa. (QS 5:8)
C.
Masam-macam perikatan dalam hukum islam.
1.
Perikatan utang (al-iltizam bi ad-da’in)
Yang dimaksudkan, bentuk perikatan yang obyeknya adalah uang atau
benda yang dinyatakan sebagai suatu dzimmah (tanggungan seseorang).
2.
Perikatan benda (al-iltizam bi al-‘ain).
Obyeknya adalah benda untuk dipindah-milikkan baik bendanya atau
manfaatnya. Seperti menjual tanah dan menyewakan gedung untuk diambil
manfaatnya.
3.
Perikatan kerja/melakuakan sesuatu.
Merupakan hubungan hukum untuk melakukan sesuatu. Seperti istisna’
dan ijaroh.
4.
Perikatan menjamin.
Mrupakan suatu perikatan yang obyeknya dalah menjamin, menanggung
suatu perikatan. Seperti si A bersedia menjadi penanggung hutang si B kepada si
C.
D.
Sumber-sumber perikatan dalam hukum islam.
1.
Akad.
Ini adalah sumber yang paling penting. Seperti akad jual beli,
pembeli harus membayar dengan uang dan penjual harus menyerahkan barangnya.
2.
Kehendak sepihak.
Seperti wasiat, hibah. Akad wasiat dan itu terjadi karena kehendak orangnya
tanpa adanya kehendak orang lain atau dipaksa.
3.
Perbuatan merugikan.
Seperti ghasab, pencurian, perusakan dan lain-lain. Ghasab akad
menyebabkan timbulnya hukum wajib mengembalikan dan jika terjadi kerusakan maka
harus bertanggung jawab atas tindakannya dengan menggantinya yang sesuai.
4.
Perbuatan bermanfaat.
Perbuatan yang bermanfaat juga menjadi sumber dari pada akad. Hal
ini banyak sekali termasuk akad yang ada di muamalah yang telah kita ketahui
bersama.
5.
Syarak.
Yakni ketentuan-ketentuan
syarak yang menetapkan kewajiban untuk melakukan akad. Untuk di halalkannya
seorang laki-laki pada perempuan harus adanya akad. Yang di sebut dengan akad
nikah.
BAB 2.
Terbentuknya Akad.
A.
Rukun dan syarat akad.
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu
terwujud karena adanya unsur-unsur
tersebut yang membentuknya. Adapun akad juga terbentuk adanya unsur-unsur atau
rukun-rukun yang membentuknya, yaitu sebagai berikut :
1.
Para pihak yang membuat akad (al-‘aqidan).
Syaratnya, tamyiz (cakap
bertindak atau mencapai usia 12 tahun) dan berbilang pihak.
2.
Pernyataaan kehendak para pihak (shighatul-‘aqd).
Syaratnya, adanya
persetujuan ijab (penawaran) dan qobul (penerimaan) dan kesatuan majelis akad.
Hal ini harus dicapai tanpa adanya paksaan atau secara bebas. Ijab dan qobul
merupakan wahana penandanya. Subtansi ijab dan qobul ini adalah
perizinan,ridho, persetujuan, toestoming.
3.
Objek akad.
Syaratnya, objek akad dapat diserahkan dan dapat dilaksanakan,
tertentu atau dapat ditentukan dan objek akad dapat ditransaksikan, artinya
dapat diserahkan. Tidak menimbulkan atau mengandung ghoror dan bebas dari riba
4.
Tujuan akad (maudu’ al-‘aqd).
Syaratnya, syaratnya tidak bertentangan dengan syarak.
Intinya syarat-syarat akad ada delapan yaitu, tamyiz, berbilang
pihak, persetujuan ijab dan qobul, kesatuan majlis akad, obyek akad dapat
diserahkan, obyek akad tertentu atau dapat ditentukan, obyek akad dapat
ditransaksikan dan tujuan akad tidak bertentangan dengan syarak.
Apabila telah memenuhi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya, maka
suatu akad dinyatakan sah. Akan tetapi meskipun sudah sah, ada kemungkinan
bahwa akibat-akibat hukum akad tersebut belum dapat dilaksanakannya. Akad yang
belum dapat dilaksanakannya akibat hukumnya itu, meskipun sudah sah, disebut
akad maukuf (terhenti / tergantung). Karena akad yang sudah sah itu harus
memenuhi syarat berlakunya akibat hukum, yaitu adanya kewenangan sempurna atas
objak akad dan tindakan hukum yang dilakukan. Sebaliknya yaitu akad nafis,
adalah akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya karena telah
memenuhi syarat berlakunya akibat hukum.
a.
Batal dan sahnya akad.
Suatu perjanjian (akad) tidak cukup hanya adanya secara faktual,
tetapi keberadanya harus sah secara syar’i (yuridis) agar perjanjian tersebut
dapat melahirkan akibat-akibat hukum yang dikehendaki oleh para pihak yang
membuatnya. Suatu akad menjadi sah apabila dinyataka telah memenuhi rukun dan
syaratnya. Akan tetapi oleh syarat-syarat beragam jenisnya, maka kebatalan dan
keabsahan akad menjadi bertingakt-tingkat sesuai dengan sejauh mana rukun
syarat itu terpenuhi. Tingkat-tingkat tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Akad batil/batal.
Batil berarti sia-sia, hampa,tidak berlaku, tidak benar, tidak ada
subtansi dan hakikatnya. Yaitu kad yang tidak terpenuhi syarat dan rukunnya.
Akad ini tidak melahirkan hukum apapun, apabila dilaksanakan para pihak maka
wajib mengembalikannya, tidak ada pemberlakuan pembenaran,tidak perlu
di-fasakh.
2.
Akad fasid.
Fasid artinya rusak, busuk. Yaitu akad yang telah memenuhi rukun
dan syaratnya, akan tetapi tidak memenuhi syarat keabsahan akad. Akad ini
ditolak karena telah melanggar ketentuan syara’, sehingga tidak sah karena
terlarang.
3.
Akad maukuf.
Maukuf berarti terhenti, tergantung dan dihentikan.
Sebab akad menjadi maukuf, diantararnya remaja yang belum dewasa,
orang sakit ingatan yang kurang akalnya,orang pandir yang memboroskan hartanya,
orang mengalami cacat khndak karena paksaan.
4.
Akad nafidz ghairu lazim.
Nafiz adalah berarti berlaku, terlaksana, menembus. Ghairu lazim
berarti tidak mengikat penuh. Akad nafidz ghairu lazim ini dipengaruhi oleh hak
opsi (khiyar) untuk meneruskan atau memfasakhkan akadnya. Seperti akad titipan
atau wadhiah, penitip maupun peminjam boleh mengembalikan barangnya tanpa
adanya persetujuan penitip atau peminjam.
5.
Akad nafidz lazim.
Merupakan akad yang telah mengikat penuh diantara pihak yang
melakukan akad.
BAB 3.
Akibat Hukum dan Pemutusan Akad.
A.
Akibat hukum dari suatu perjajian.
Dalam
berbagai hukum perjanjian, apabila suatu perjanjian (akad) telah memenuuhi
syarat-syaratnya dan menurut hukum perjanjian islam apabila telah memenuhi
rukun dan syaratanya perjanjian tersebut mengikat dan wajib dipenuhi serta
berlaku sebagai hukum. Akibat hukum dari suatu perjanjian ini da kaitannya
dengan parqa pihak dan adakalnya dengan isi akad tersebut.
1.
Kaitannya dengan para pihak akad.
1.
Pembuat janji bertindak atas nama sendiri.
Akibat hukum ini terkait terhadap (1) para pengoper hak, (2) para
kreditor, (3) pihak ketiga. Pertama, pengoper hak umum dan khusus. Pengoper hak
umum adalah orang yang memeperoleh hak dari orang lain dengan menggantikan
kedudukan orang lain. Contohnya ahli waris dan penerima wasiat. Dan pengoper
hak khusus adalah orang yang menggantikan kedudukan teroper (as-salaf) mengenai
benda tertentu dari kekayaan tertentu. Hal ini melalui akad dan wasiat.
2.
Pembuat janji mewakili orang lain.
B.
Terminasi akad (perjajian).
Yang dimaksud
dengan terminasi akad adalah tindakan mengakhiri perjanjian yang telah tercipta
sebelum silaksanakan atau sebelum selesai pelaksanaanya. Istilah yang digunakan
oleh para ahli hukum isalam untuk pemutusan akad ini adlah fasakh. Dalam hal
ini meliputi empat hal, adalah sebagai berikut :
a.
Terminasi akad melalui kesepakatan bersama (al-iqalah)
Suatu akad
(perjanjian) apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya dengan ketentuan hukum,
maka akad tersebut menjadi mengikat. Al-iqalah yaitu pemutusan akad berdasarkan
para pihak.
b.
Terminasi akad karena tidak dilaksanakan
Sebagai contoh
seseorang yang membawa mobilnya ke bengkel untuk diperbaiki, kewajiban kepada
pmilik barang untuk membayar biaya perbaikan jika telah diperbaiki. Selama
pemilik barang belum membayarnya maka bengkel dapat menahan barang tersebut
sampai pemilik melunasinya.
c.
Terminasi akad karena mustahil dilaksanakan
Apabila tidak
silaksanakannya perikatan oleh salah satu pihak, maka dengan sendirinya akad
batal tanpa adanya putusan hakim karen akad mustahil untuk dilaksanakannya.
Sebagai contoh akad jual beli, apabila barang musnah ditangan penjual sesudah
akad sebelum diserahkan kepada pembeli, maka akad putus dengan sendirinya.
Apabila telah terlanjur meminta harga pembelian dari pembeli, maka ia wajib
mengembalikan harga tersebut kepada pembeli.
Kesimpulan
Hukum perjanjian syari’ah dalam kata lain disebut dengan al-aqd
atau akad. Merupakan suatu ikatan oleh
dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada obyeknya. Dari
akibat hukum itulah sebagai tujuannya. Karena ini merupakan syariah maka perjanjian
atau akad harus didasarkan pada yang tidak menyimpang dari ajaran islam yakni
pedoman alquran dan assunah.
Adapun perjanjian syariah itu sendiri ada bermacam-macam bentuk dan
sifatnya dilihat dalam berbagai segi menurut pandangan para ulama’. Akan tetapi
pada intinya dari pembagian itu dapat kami simpulkan, hanya terdiri dari akad musamma (akad yang
telah diberi nama dan ketentuan hukumnya oleh para pembuat hukum) dan ghoiru
musamma (akad yang belum ditentukan namanya ktentuannya).
Akad dikatakan telah sah dan dapat dilaksanakannya akibat hukumnya
apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya sesuai dengan ketentuan hukumnya.
Karena akad akan mengikat kepada para pihak yang membuat hukum setelah sepakat
dan ridho.
Terminasi akad merupakan pemutusan akibat hukum yang terjadi pada
akad. Adapun terminasi dapat terjadi karena dari pihak yang berakad, atau
karena mustahil dilaksanakan dan karena akad tidak dilaksanakan.